Hampir setahun setelah peristiwa tragis pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di Laut Andaman, kini masih terdapat 200-an orang yang tinggal di empat tempat penampungan di Aceh. Dari 1.807 orang yang ditampung di Aceh, hanya 3 orang yang telah diterima sebagai pengungsi di Kanada. Kemana sisanya?
Antropolog Dr Antje Missbach dari Monash University yang melakukan studi lapangan atas nasib pengungsi Rohingya ini, menyebutkan bahwa hingga periode akhir Januari 2016, masih ada 275 pengungsi Rohingya yang tinggal di empat penampungan terpisah di Aceh.
Antropolog Australia Dr Antje Missbach.
Antropolog Australia Dr Antje Missbach.
"Sementara itu hanya tiga orang di antara mereka yang telah mendapatkan penempatan yaitu di Kanada," jelas Dr Antje dalam seminar bertajuk Asylum Seekers and the Australia-Indonesia Relationship di Melbourne, Selasa (15/3/2016) malam.
Dr Antje menghabiskan empat tahun meneliti tragedi yang dialami para pengungsi yang dia sebut sebagai ‘transit migrants’, yang datang dari Afghanistan, Irak, Iran, Burma, Sri Lanka, dan Somalia, ke Indonesia dengan harapan bisa masuk ke Australia.
Hasil penelitiannya itu diungkapkan dalam buku berjudul Troubled transit: asylum seekers stuck in Indonesia yang diterbitkan ISEAS-Yusof Ishak Institute. Buku ini diluncurkan dalam seminar tersebut.
Buku ini memaparkan secara terperinci kisah-kisah para pengungsi yang kini tertahan dalam ketidakpastian di Indonesia, serta perspektif dari pihak pemerintah Indonesia serta lembaga internasional dan LSM yang menangani pengungsi di Indonesia.
Kisah-kisah pengungsi yang kini nasibnya tidak menentu itu, juga digambarkan dalam buku ini dalam kaitannya dengan respon pemerintah Indonesia dan lembaga terkait. Buku ini menjelaskan kerumitan hidup para pengungsi tersebut dalam konteks hubungan Indonesia dan Australia terkait penanganan pengungsi.
Dr Antje menjelaskan, dari 1.807 pengungsi yang tiba di Aceh, sekitar 1000 diidentifikasi sebagai orang Rohingya sedangkan sisanya sebagai orang Bangladesh. Pemisahan ini berpengaruh, kata Dr Antje, karena mereka yang dari Bangladesh dengan cepat dikembalikan ke negara asalnya.
"Mungkin saja di antara yang kembali itu justru terdapat orang Rohingya, sebab Bangladesh selama ini merupakan tempat pengungsian orang Rohingya selama beberapa dekade," jelasnya.
"Untungnya tidak seorang pun yang dikembalikan ke Myanmar, sebab pemerintah di sana tidak mengakui orang Rohingya sebagai warga negara mereka dan menyebutnya sebagai imigran gelap dari Bengali," katanya.
Kini masih ada 200-an orang pengungsi Rohingya yang bertahan di Aceh.
Kini masih ada 200-an orang pengungsi Rohingya yang bertahan di Aceh.
Menurut Dr Antje, ada perbedaan perlakuan yang diberikan kepada pengungsi Rohingya di Indonesia dibandingkan dengan pengunsg dari negara lain. Sama seperti pengungsi lainnya yang tidak diperbolehkan bekerja, mereka pun tidak bisa bersekolah atau berkesempatan menjadi warga negara Indonesia.
"Namun sebagai minoritas Muslim tertindas, orang Rohingya menerima solidaritas besar dari warga dan berbagai organisasi di Indonesia," katanya.
Karena hingga saat ini Indonesia belum mengizinkan integrasi pengungsi ke dalam masyarakat lokal, pengungsi Rohingya pun hanya bisa berharap bisa ditempatkan di negara ketiga.
"Australia sendiri pada bulan Mei 2015 telah menyatakan tidak mau menerima orang Rohingya. Makanya, sejauh ini baru 3 orang Rohingya itu yang telah ditempatkan di Kanada," katanya.
Makanya, kata Dr Antje, pengungsi Rohingya kini tertahan di Indonesia. Mereka tinggal di penampungan dan tidak banyak melakukan aktivitas karena tidak diperbolehkan bekerja atau bersekolah.
"Dengan kecilnya kemungkinan bisa menetap di Indonesia, kebanyakan orang Rohingya kini berharap bisa pindah ke Malaysia. Mereka pun kembali jatuh ke dalam kegiatan para penyelundup manusia," ujarnya.
Dalam seminar yang digelar di Melbourne University, turut berbicara Prof Michelle Foster yang mengupas aspek legalitas hukum internasional terkait pembagian tanggung jawab dalam penanganan pengungsi.
Selain itu, Prof Susan Kneebone yang membahas respon Indonesia dalam penanganan pengungsi, serta David Manne praktisi hukum yang mengupas perlunya kalangan sivil society lebih berperan dalam penanganan pengungsi.
Buku Troubled transit: asylum seekers stuck in Indonesia karya Dr Antje Missbach ini diluncurkan Prof Tim Lindsey dari Fakultas Hukum Melbourne University.