Assalaamu’alaikum wr. wb.
Ini sekedar catatan dari sebuah perjalanan ke Bandung pekan lalu. Perjalanan ini termasuk rutin, karena hampir setiap pekan saya memiliki agenda di Bandung. Seperti biasanya pula, saya naik Travel yang berangkat dari Kota Hujan pagi-pagi, agar tiba di Kota Kembang sekitar waktu Zhuhur.
Belum lama ini saya mewajibkan kepada diri sendiri agar dalam setiap perjalanan selalu membawa sebuah buku untuk dibaca – kecuali jika saya menyupir sendiri, tentu saja – dan biasanya saya akan membawa buku setebal 200-an halaman untuk diselesaikan dalam perjalanan. Dalam perjalanan kali itu, buku yang saya bawa adalah Kuliah Aqidah Islam karya Dr. Yunahar Ilyas.
Belajar tentang ‘aqidah memang takkan ada selesainya, dan tak perlu malu untuk belajar ulang. Persoalan seputar ‘aqidah sejatinya tidak jauh dari apa yang terdapat dalam Rukun Iman; sebuah konsep yang bisa dijelaskan dalam beberapa lembar buku pelajaran Agama Islam untuk tingkat SD, namun juga bisa dituangkan dalam kajian setebal 400 halaman lebih sebagaimana yang telah dilakukan oleh Buya Hamka dalam bukunya, Pelajaran Agama Islam. Kesimpulannya, menurut saya, konsep-konsep ‘aqidah yang teramat fundamental ini memang tak ada ruginya untuk terus digali, dan mendapatkan pandangan segar dari ulama lain sangatlah bermanfaat. Dengan akal dan jiwa yang sudah sangat siap untuk menerima pencerahan, saya pun mempelajari setiap penjelasan dalam buku tersebut.
Sebelum memasuki bab yang membahas tentang malaikat, saya tertegun sejenak. Di antara hal-hal lainnya dalam Rukun Iman, saya memiliki ekspektasi lebih tentang yang satu ini. Lebih tepatnya, saya berharap penjelasan tentang malaikat dalam buku ini bisa memenuhi keingintahuan saya. Begitu banyak yang tidak kita ketahui tentang malaikat, terutama tentang signifikansi keberadaannya. Apakah perubahan fundamental yang akan terjadi pada keyakinan kita jika tidak ada iman kepada malaikat? Kurang lebih begitulah pertanyaan besarnya.
Ketika larut dalam bacaan, saya tidak lagi fokus memikirkan pertanyaan besar tersebut. Ada satu hal lain yang kemudian menyentuh perasaan saya, yaitu penjelasan bahwa Allah SWT juga menciptakan malaikat-malaikat yang menyeru manusia pada kebaikan. Oleh karena itu, manusia yang dinaungi malaikat lebih terjaga dari keburukan.
Salah satu cara agar malaikat ‘senang’ bersama kita adalah banyak-banyak berdzikir. Dalam bukunya, Dr. Yunahar Ilyas mencontohkan sebuah wirid yang biasa dibaca seratus kali setiap harinya oleh Rasulullah saw. Bacaan wirid itu cukup terkenal dan mudah dihapal, yaitu: “Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir” (tiada Ilah selain Allah Yang Maha Tunggal, tak ada sekutu baginya, baginyalah kerajaan dan baginyalah pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatunya).
Selepas bab “Malaikat”, buku itu pun saya tutup. Sisa perjalanan ke Bandung saya habiskan dengan membaca wirid tadi. Ada kenikmatan tersendiri dari memuji Allah yang entah bagaimana menjelaskannya. Saya juga tidak tahu mana yang lebih nikmat; lisan yang basah karena nama-Nya, atau mendengar diri saya sendiri melantunkannya.
Tiba di Pasteur, saya tidak membuang waktu untuk langsung naik ke dalam sebuah angkot. Hari yang biasa saja, perjalanan yang biasa saja. Angkot tidak terlalu penuh karena memang bukan jam sibuk. Ada beberapa siswi sekolah, ada seorang nenek yang cukup lanjut usia, supir, dan tentunya saya sendiri.
Untuk mencapai tempat tujuan, saya perlu berganti angkot. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih kepada pak supir, saya langsung naik angkot berikutnya yang sudah menunggu dan alhamdulillaah angkot tersebut langsung jalan, alias tidak ngetem. Saat angkot berhenti di depan lampu merah, seorang pengamen melompat ke pintu angkot dan segera beraksi. “Permisi, selamat siang...” Saat itulah saya tersadar bahwa ada yang sangat berbeda dalam perjalanan kali ini.
Perjalanan yang saya anggap biasa-biasa saja, pada kenyataannya sangat tidak biasa. Sejak tiba di Bandung siang itu, saya tidak pernah merasakan atau mendengar hal tidak enak yang biasanya selalu ada. Kedua supir yang angkotnya saya naiki sangat ramah, bahkan tidak sekalipun menginjak rem mendadak – suatu hal yang paling saya benci dari angkot – atau yang semacamnya. Ketika saya membayar dan mengucapkan terima kasih, supir yang pertama pun menjawab dengan sangat ramah.
Saya pun memperhatikan pengamen yang saat itu tengah bernyanyi. Teramat sering saya dibuat kesal oleh pengamen di Bandung; kalau bukan karena penampilannya, biasanya karena sikap dan kata-katanya. Tapi yang kali ini berbeda. Dan kalau diingat-ingat lagi, di sepanjang perjalanan itu sudah cukup banyak orang yang saya lewati, meski sekedar berpapasan. Tak ada satu pun yang berkata-kata kasar, bahkan – yang menurut saya cukup ajaib – tak ada yang menyebut nama binatang yang bekas liurnya harus dicuci tujuh kali itu (tahu, ‘kan?). Padahal, dulu saya sering bercanda dengan seorang teman dan mengatakan bahwa nama binatang yang satu itu bisa jadi awalan, sisipan dan akhiran dalam pembicaraan anak muda di Bandung.
Setelah sang pengamen beres bernyanyi, saya merogoh kantong dan memberinya sedikit uang, semata karena sikap baiknya. Saya bahkan tak menyimak musiknya sedetik pun. Tapi itu adalah hari yang sangat menyenangkan, karena semuanya bersikap menyenangkan, dan tren itu berlangsung terus hingga malam harinya ketika saya bertolak kembali ke Bogor.
Dalam perjalanan pulang, saya kembali larut dalam perenungan. Ini benar-benar pengalaman yang tidak biasa. Tak ada satu pun orang yang saya jumpai yang berkata-kata tidak baik. Semuanya santun, semuanya saling berbalas kebaikan.
Tiba-tiba saja, pikiran saya berhasil menemukan sebuah pertanyaan yang telah terkubur cukup lama, terbenam dalam begitu banyak persoalan yang mampir silih berganti. Pertanyaan itu adalah seputar sebuah ayat dalam Surah An-Naba’ yang menjelaskan salah satu aspek kehidupan dalam Surga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. Ayat tersebut berbunyi: “Laa yasma’uuna fiihaa laghwan wa laa kidzdzaabaa..” (Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan dusta).
Mengapa ‘perkataan yang tidak sia-sia’ menjadi sebuah nikmat yang begitu signifikan di Surga? Dulu pun saya sering mempertanyakan hal ini. Tapi agaknya, perjalanan ke Bandung kali ini telah membuka mata saya, karena akhirnya saya dapat memahami sedikit saja – meski barangkali hanya secuil – kenikmatan Surga, yaitu kata-kata para penghuninya yang tidak sia-sia, jauh dari kasar dan kotor. Sehari penuh telinga saya dijauhkan dari kata-kata yang tidak baik, pengaruhnya terhadap jiwa sangatlah terasa.
Sulit bagi saya membayangkan Surga dengan segala kenikmatannya, namun saya rasa kita bisa membuat dunia jadi jauh lebih indah dengan meniru (sebatas kemampuan kita) beberapa aspek keindahan Surga. Berabad-abad yang lampau, orang Islam membangun rumahnya dengan memposisikan kebun terbuka di bagian tengahnya – bukan di depan atau di belakang – dan membuat sebuah kolam dengan air yang mengalir. Konon, mereka terobsesi dengan gambaran Jannah dalam Al-Qur’an dan berusaha mewujudkannya di rumah sendiri dengan semangat ‘baiti jannati’. Menurut saya, dunia pun akan terasa jauh lebih nyaman untuk ditinggali jika kita bisa menahan diri dari perkataan yang sia-sia, tetap ramah dan santun kepada siapa saja. Bagai di Surga, walau belum persis sama.
Saya tidak tahu persis dan tidak bisa memastikan apakah pengalaman tidak biasa itu terjadi karena sebelumnya saya membaca wirid yang sudah saya sebutkan di atas, tapi kalau dipikir-pikir, wirid itu adalah ucapan yang tidak sia-sia juga. Jadi, berkatalah baik atau diam. Daripada mengomel, mending berdzikir. Ah, sungguh megahnya keindahan yang tersembunyi di balik kesederhanaan ajaran Islam. Andai saja lisan kita selalu berada di bawah kendali akal sehat.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
(Bahtiar Ri Fai)
https://www.facebook.com/intan.rifai.7/posts/1228439557185114