Yusril Ihza Mahendra siap maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang bakal berlangsung 2017. Ahli Hukum Tata Negara ini pun sudah siap untuk membenahi Jakarta jika terpilih nanti. Mulai dari persoalan banjir hingga penggusuran di paparkan Yusril, yang pernah memainkan peran Laksamana Cheng Ho.
Berikut petikan wawancara 'Laksamana' Yusril Ihza Mahendra soal caranya buat mengatasi permasalahan Jakarta jika terpilih menjadi Gubernur nanti, dikutip dari merdeka.com.
Apa rancangan program Anda ketika nanti memimpin Jakarta nanti?
Saya mau benahi itu persoalannya dari hal yang mendasar, mengenai struktur pemerintahan DKI ini sendiri. Jadi kesulitan kita dalam menangani persoalan banjir itu adalah penataan wilayah yang sebenarnya tidak hanya Jakarta, tetapi juga di wilayah sekitarnya terutama di Provinsi Banten dan di Provinsi Jawa Barat. Karena itu penyelesaian masalah Jakarta harus terintegrasi dengan Banten dan Jawa Barat.
Jadi selama ini karena kesulitan melakukan koordinasi dan penataan itu, maka banyak program yang mau dijalankan itu tidak bisa berhasil di lapangan. Misalnya kita mau menata sungai, seharusnya kita bisa banyak belajar dari Sungai Mekong. Itu sungai melewati tujuh negara, mulai dari Cina, India, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand sampai ke Kamboja. Antar negara itu melakukan koordinasi dan sinkronisasi, sehingga mereka bisa menjaga keseimbangan antarnegara.
Sekarang misalnya Kali Cisadane dan Ciliwung. Hulu sungainya kan dari Jawa Barat, jadi tidak bisa ditangani sendiri oleh Jakarta tanpa koordinasi dengan Jawa Barat dan Banten. Begitu juga dengan persoalan sampah. Sampah di Jakarta ini sudah enggak ada tempat untuk stock file penampungan sampah. Saya dalam menangani persoalan sampah ini dan menghadapi Petahana yang sesumbar mengatakan mau membatalkan (perjanjian dengan swasta -pen) itu mana, mana berani dia. Jadi tidak mungkin penanganan sampah di DKI itu tanpa melibatkan Jawa Barat dan Banten. Banten menolak sama sekali, Pemerintah Jawa Barat enggak pernah dilibatkan. Yang dilibatkan itu hanya Pemda Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi pun tidak.
Menurut Anda, apa yang menyebabkan Pemprov DKI saat ini sulit berkoordinasi dengan Pemda di sekitarnya?
Mereka itu kedudukannya setara. Kalau misalnya Gubernur DKI itu bicara sama Walikota Bekasi, itupun dalam posisi yang sebenarnya tidak seimbang. Jadi kadang-kadang juga ya tekan sana tekan sini. Jadi menurut saya, ke depannya saya akan mengembangkan program di mana Jakarta nanti akan terintegrasi dengan pemerintah pusat, sehingga tidak ada kontradiksi antara ibu kota dan pemerintah daerah. Kalau orang menyebut ibu kota, apa yang ada dalam bayangan kita? Ya kan pusat dari negara itu. Tetapi dalam posisi lain, kita bilang mereka itu 'Pemerintah Daerah', itu kan kontradiksi. Jadi kita bilang ibu kota adalah pusat dari negara itu, tetapi kita bilang pemerintah daerah. Pemerintah daerah itu kan ya di daerah.
Jadi DKI itu harus diintegrasikan dengan pemerintah pusat, dan tahap demi tahap Pemerintah DKI itu nanti akan dilikuidasi, begitu juga dengan DPRD DKI. Jadi semua itu nanti akan diintegrasikan dengan pemerintah pusat, sehingga yang menangani Jakarta itu nantinya bukan lagi gubernur melainkan menteri, menteri urusan ibu kota. Dari segi catatan negara itu betul, menteri itu kan bagian dari pemerintah pusat, urusan ibu kota, menangani ibu kota negara itu. Bukan pemerintah daerah, masa daerah disuruh menangani ibu kota? Kan aneh. Kapasitas secara struktur organisasi pemerintahan juga kan terbukti sampai sekarang enggak jalan-jalan.
Jika terpilih sebagai DKI 1, bagaimana Anda merealisasikan perubahan struktural di pemerintahan?
Itu kan nanti akan dilaksanakan secara bertahap. Tidak ada suatu pemerintahan itu berjalan tanpa transisi, dan saya berpengalaman dalam hal itu. Saya dulu dengan Ryaas Rasyid menyiapkan UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, dan itulah pertama kali dalam sejarah kita melaksanakan otonomi daerah. Saya waktu itu berdebat panjang dengan kawan-kawan di sana. Mereka menerapkan itu tanpa transisi, dan itu berakibat masalah-masalah yang begitu banyak antara pusat dengan daerah.
Saya pengalaman memisahkan dua departemen, misalnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan, itu kita pisah jadi dua. Kemudian memisahkan Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung. Lalu saya juga ikut memisahkan Mabes TNI dengan peradilan militer, serta Departemen Agama dengan Pengadilan Agama. Tetapi juga saya pernah menyatukan dua departemen menjadi satu, itu antara Kementerian Hak Asasi Manusia dengan Departemen Kehakiman.
Jadi kalau soal begini ini saya enggak hanya punya teori tentang hukum tata negara. Tetapi tentang kekayaan secara pengalaman, ada enggak orang yang bisa lakukan hal-hal seperti itu ? Jadi jangan pula kita ini selalu dianggap enggak ngerti apa-apa atau dianggap hanya tahu teori. Maka kalau ditanya sama saya, apakah Anda sanggup melikuidasi pemerintahan DKI Jakarta, kemudian mengintegrasikannya dengan pemerintah pusat, saya akan bilang bahwa saya punya cukup banyak pengalaman dalam hal itu.
Adakah contoh kongkret dari efektifnya integrasi pemerintahan daerah ibu kota dengan pemerintahan pusat?
Kalau kita lihat, tiga negara aja di Asia. Singapura itu kan pemerintah daerahnya kan enggak ada, karena negara mereka kan kecil. Jadi di Singapura itu semuanya langsung ditangani oleh pemerintah pusat. Maka urusan sampahnya Singapura itu langsung ditangani oleh Menteri Lingkungan Hidup.
Kemudian Kuala Lumpur. Malaysia itu kan ada 13 negara bagian, ibu kota Kuala Lumpur itu disebut dengan Federal Terittory, yaitu wilayah federal. Dan itu bukan pemerintah daerah, karena Federal Terittory of Kuala Lumpur itu langsung ditangani oleh Menteri Wilayah Persekutuan, Minister of Federal Terittory. Jadi Kuala Lumpur itu ditangani oleh Pemerintah Malaysia langsung, bukan oleh Pemerintah Daerah.
Kemudian kita lihat Filipina. Manila itu dia memang memakai istilah 'Governor', tetapi mereka itu menyebutnya 'Governor of Metro Manila'. Jadi Metro Manila itu terdiri dari banyak 'cities', tetapi di-handle oleh satu Governor of Metro Manila. Nah Gubernur Metro Manila itu adalah bagian dari pemerintah pusat. Dia itu berbeda dengan Gubernur Batangas atau Gubernur Mindanao, itu beda. Dia adalah bagian dari pemerintah pusat.
Maka, jika nanti Jakarta terintegrasi dengan pemerintah pusat, karena itulah nanti alokasi APBD Jakarta itu enggak ada, adanya APBN. Anggota DPRD DKI itu nanti juga akan pindah ke DPR RI, dan mereka akan jadi komisi sendiri, namanya Komisi Ibu Kota.
Dengan cara itu, saya yakin bahwa penataan dengan Jawa Barat dan Banten itu bisa lebih efektif karena langsung di-handle oleh menteri dan pemerintah pusat. Jadi kalau kita lihat, ini persoalannya mendasarnya itu ada di mana. Kalau ibarat penyakit itu, jangan dicari gejalanya. Tetapi yang harus dicari itu apa penyebab penyakit ini timbul. Persoalan Jakarta harus kita selesaikan dari situ.
Jadi soal banjir, sampah, kemacetan lalu lintas, kuncinya itu ada di situ. Kalau selama ini kan integrasi wilayahnya enggak jalan. Enggak mungkin orang yang ada di Jakarta setiap hari disuruh tinggal di Jakarta semua. Itu hanya mungkin jika mereka tinggal di Banten atau di Jawa Barat. Jadi membangun wilayah-wilayah pemukiman dan kota-kota satelit baru di sekitar Jawa Barat dan Banten, serta harus dihubungkan dengan kereta api, yang menjamin orang yang tinggal di Serang (Banten), hanya membutuhkan 30 menit untuk sampai ke tempat kerjanya.
Dalam masalah keterbatasan lahan di Jakarta dan maraknya pembangunan mall serta apartemen, bagaimana sikap Anda?
Yang harus dilihat lagi adalah mengenai Perda tentang peruntukan lahan di DKI, dan itu memang enggak gampang diubah. Jadi yang dibuat oleh Pak Foke itu sampai dengan tahun 2020, dan hanya 5 tahun sekali dia bisa diubah dalam bentuk Perda tata ruang. Jadi itu yang sekarang ini banyak ditabrak sehingga tidak jelas juntrungannya. Bahkan kadang-kadang ada tipu-tipu juga di perusahaan swasta atau pengembang, yang berdalih bahwa itu adalah uang CSR yang digunakan untuk membangun jalan dan jembatan, tetapi sebenarnya hanya agar real estate yang dikembangkannya laku. Tetapi masalahnya hal itu merugikan orang-orang sekitar, dan malah jadi bertentangan dengan hakikat Corporate Social Responsibility itu sendiri. Malah kadang-kadang melanggar Perda Tata Ruang.
Jadi makanya saya bilang tadi, menjalankan roda pemerintahan itu ada tertib hukumnya. Kita enggak bisa bertindak semaunya kita saja, kecuali dalam keadaan yang emergency di mana kita harus mengambil keputusan tepat.
Mengenai pro-kontra Reklamasi Teluk Jakarta antara Pemprov DKI dan warga pesisir, bagaimana sikap Anda?
Memang kalau peraturan yang sudah ada, itu kan akan mengikat pemerintah-pemerintah yang sesudahnya. Sama juga soal utang-utang yang dibuat oleh Pak Jokowi, kalau besok siapa pun jadi presiden kan tetap tidak bisa menghapuskan utang tersebut. Walaupun dia dongkol dan tidak setuju dengan utang tersebut, tetapi dia kan tetap harus bayar.
Tetapi, tiap-tiap pemerintahan yang baru itu tidak bisa juga sepenuhnya menyalahkan pemerintah yang lama. Artinya, dia laksanakan itu, tetapi dia harus meminimalisir ekses yang timbul. Jadi saya maklum bahwa perjanjian dengan para pengembang (di proyek reklamasi) itu sudah ditandatangani oleh pemerintah pusat zaman Pak Harto, ataupun dengan pemerintah DKI pada waktu itu, dan itu memang mengikat pemerintah-pemerintah sesudahnya. Tidak bisa dia secara sepihak membatalkan itu. Tetapi tetap ada ruang bagi pemerintahan yang baru untuk mencegah ekses dan mencarikan jalan keluar, dalam persoalan-persoalan yang timbul dan tidak terpikirkan pada saat proyek itu ditandatangani.
Saya akrab betul dengan daerah itu karena saya sering belanja ikan di Muara Baru, sehingga pedagang-pedagang ikan di situ juga sudah banyak yang kenal dengan saya. Jadi ini kan reklamasi bukan untuk memperpanjang pantai, tetapi untuk membuat pulau-pulau baru yang ada di wilayah utara Jakarta, dan sebagian sudah masuk ke wilayah Tangerang. Karena itu, ketika program ini diimplementasi, sedikit-banyaknya mungkin saat itu sudah ditelaah. Tetapi persoalan di Jakarta ini kan faktanya tanah dan sungai di DKI lebih rendah dari laut. Itu persoalannya. Maka, di mana hal ada akses yang tidak terpikirkan pada waktu Perda itu disahkan, itu memang harus diantisipasi di lapangan dan diminimalisir.
Mengenai soal penggusuran sejumlah pemukiman warga di DKI, bagaimana sikap Anda?
Kongkritnya itu misalnya masalah Kalijodo. Itu dari zaman Ali Sadikin, daerah itu tidak pernah dinyatakan sebagai daerah hijau. Itu baru mulai di zamannya Foke. Tetapi di zamannya Foke itu hal tersebut dituangkan di dalam Perda Tata Ruang, kemudian di SK Gubernur untuk diimplementasikan mengenai tata ruang itu. Jelas tergambar bahwa daerah hijau itu patokannya adalah sungai. Jadi 11 meter ke kiri sungai dari Jalan Tubagus Angke, dan sebelah kanan itu 18 meter.
Sedangkan wilayah yang ada di sekitarnya itu merupakan tanah yang sebagian sudah dimiliki, di mana masyarakat di situ punya hak dengan memiliki sertifikatnya. Sebagian lagi itu memang tanah negara yang secara faktual memang dikuasai oleh perorangan-perorangan tertentu ataupun suatu badan hukum tertentu. Mungkin tidak ada surat-suratnya, tetapi secara de facto, dia mungkin sudah menduduki tanah itu selama puluhan tahun, dan bahkan sebelum terjadi jual-beli lahan itu.
Jadi pemerintah DKI kalau mau membebaskan yang 11 atau 18 meter itu, memang iya. Tetapi kalau di situ sudah timbul hak, maka memang harus dilakukan proses ganti rugi. Tetapi tidak bisa lebih dari 11 meter ke kiri dan 18 meter ke kanan. Karena kalau itu sudah merupakan tanah yang ada hak-nya, sebagian lagi adalah tanah negara yang diduduki.
Tetapi sebenarnya negara itu tidak memiliki tanah. Negara itu hanya menguasai tanah. Jadi di pasal 33 itu kan 'Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara', jadi negara bukan memiliki. Negara hanya menguasai. Bedanya, kalau 'memiliki' itu artinya saya punya hak milik atas rumah ini, ada sertifikatnya dan hak miliknya. Tetapi kalau negara 'menguasai', berarti negara itu punya kewenangan untuk mengatur peruntukan tanah itu untuk siapa. Negara tidak punya hak milik, tetapi dia menguasai.
Jadi kalau misalnya Istana Negara, itu kan sertifikatnya atas nama Setneg. Tetapi Setneg ketika dia mempunyai hak atas tanah itu, posisi dia itu sebagai sebuah badan hukum pemerintah. Setneg kan dibentuk dengan undang-undang, dia merupakan badan hukum pemerintah pusat. Karena dia mempunyai badan hukum, maka dia mempunyai hak-hak. Tetapi karena dia badan hukum pemerintah, dia enggak boleh punya hak milik. Yang ada adalah hak pakai.
Jadi, pengertian-pengertian seperti ini yang dimiliki Pak Ahok itu, pikirannya masih seperti Belanda, namanya 'Domein Verklaring'. Artinya 'Segala tanah itu milik pemerintah kolonial, kalau Anda punya tanah itu Anda harus buktikan mana suratnya bahwa pemerintah sudah memberikan tanah itu kepada Anda'. Kalau Anda tidak bisa tunjukkan suratnya itu semua punya negara, buldozer saja. Itu kan gaya kolonial. Jadi dia tidak memahami hakikat Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Sesudah kita merdeka, filosofi kolonial itu sudah jauh berubah. Konsep kepada tanahnya pun kembali kepada hukum adat.
Jadi sebenarnya kalau warga Kalijodo itu minta ganti rugi atas penggusuran rumahnya, mereka itu punya hak. Apalagi mereka bayar PBB dan punya sertifikat. Maka kalau masalah seperti itu ditanyakan kepada saya, apakah prostitusi itu bisa dilegalkan atau tidak, saya bilang tidak. Pasti tidak bisa dilegalkan karena itu bertentangan dengan norma-norma keagamaan, kesusilaan, dan keyakinan orang. Tetapi bahwa secara faktual hal seperti itu memang ada, ya kita juga tidak bisa mengingkari fakta sosial. Fakta sosial dan pandangan hukum itu dua hal yang sama sekali berbeda. Jadi prostitusi itu secara faktual memang ada, tetapi kita tidak bisa melegalkannya secara hukum.
Tetapi kalau pemerintah ingin membereskan masalah itu, katakanlah Perda Tata Ruang mau dilaksanakan, jalur hijaunya mau dibangun, silakan. Tetapi kalau saya yang melakukan itu, saya akan tetap menggunakan hukum. Artinya, untuk melakukan penggusuran itu kan ada cost-nya. Biaya untuk membebaskan tanah itu dari mana ? Kita harus melakukan pendataan, berapa ganti rugi yang wajar dan harus kita bayar. Dan saya akan bicarakan dengan DPRD. Berarti kan memang enggak bisa dadakan begitu penanganannya. Jadi sekarang bisa terlihat kan kontras saya dengan Petahana itu bedanya di mana. Prinsip sama, tetapi pendekatannya kan berbeda.
Aspek apa yang membuat Anda yakin untuk memimpin dan membangun Jakarta?
Di situ kan sebenarnya tidak ada batasnya bagi seseorang untuk menjadi Gubernur. Pada dasarnya kan kepala pemerintahan itu adalah 'policy maker' dan 'decision maker'. Dia membuat suatu kebijakan berdasarkan fakta-fakta yang ada, dan mencari sesuatu yang dianggap itu yang paling baik untuk dilaksanakan. Itu yang namanya policy.
Karena itu, orang enggak usah meledek saya, 'Anda itu kan profesor hukum tata negara, sudah Anda ngomong hukum saja'. Saya bilang, kalau begitu Jokowi mengurusi hutan saja, jangan jadi presiden.
Sebenarnya untuk menjadi kepala daerah atau kepala pemerintahan pusat, itu kan harus memiliki 'Wise' dalam berkebijakan. Dia bertindak tidak lagi sebagai seorang insinyur kehutanan, atau saya tidak lagi sebagai ahli hukum tata negara, tetapi kita harus melihat persoalan itu secara multidisipliner, melintasi batas-batas suatu disiplin ilmu, tetapi yang harus dilakukan adalah policy atau kebijakan yang dianggap paling baik untuk dilakukan. Tidak berarti 100 persen baik, karena tidak ada kebijakan itu bisa 100 persen diterima oleh orang banyak.
Jadi saya pikir persoalan Jakarta itu mesti ada suatu intelektualitas dan ketajaman berpikir yang tinggi, dan sikap yang bijak dalam menyelesaikan persoalan-persoalan Jakarta ini, dengan mengedepankan keadilan dan hukum. Maka kalau saya tidak akan main bawa buldozer begitu saja atau memanggil TNI, Polri, suruh bawa tank, saya enggak akan menakut-nakuti masyarakat seperti itu. Bagaimanapun kan ada DPRD, saya akan berbicara kepada mereka mengenai Perda Tata Ruang, dan itu yang saya mau bereskan. Saya akan minta pendapat DPRD, dan mereka kan akan kasih masukan karena mereka itu wakil rakyat.
Banyak pihak menganggap rivalitas antara Yusril vs Ahok adalah pertarungan dua Putra Belitung, bagaimana Anda menanggapinya?
Yah, tidak apa-apa lah kalau ada yang ngomong begitu sih. Saya harus mengakui juga bahwa dalam politik itu, memang bukan sifatnya membuat 'dinasti'. Tetapi memang ada semacam kecenderungan sosialisasi keluarga. Bagaimanapun kan kalau dari Soekarno itu ada Megawati, di India ada keluarganya Nehru sampai ke Indira Gandhi, dan sampai ke anak-anaknya. Perdana menteri Jepang sekarang, Shinzo Abe ini kan bapaknya Shintaro Abe, dulu Menlu dan Perdana Menteri Jepang juga. Sebelumnya ada Yasuo Fukuda, bapaknya Takeo Fukuda Perdana Menteri Jepang juga.
Di Filipina, Gloria Macapagal-Arroyo itu bapaknya Diosdado Macapagal, kan presiden juga. Yang sekarang ini, Benigno Aquino III, ibunya kan presiden juga, Corazon Aquino. Jadi memang ada kecenderungan seperti itu. Bukan dinasti, tetapi nampaknya memang ada proses sosialisasi. Mungkin waktu saya masih kecil, saya lihat bapak saya mengurusi politik terus setiap hari, lama-lama saya terpengaruh juga, kan begitu. Bukan dinasti juga sebenarnya.
Keluarga saya kan sudah lama juga terjun di dunia politik ini, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Bagaimana mereka melawan Belanda dan segala macamnya. Kalau Pak Ahok kan baru dari dia saja yang berpolitik, tetapi mungkin karena di Belitung sana keluarga kita masing-masing pernah bersaing, jadi dikait-kaitkan saja masalah ini. Tetapi kalau orang menganggap begitu ya terserah saja.***
Sumber: www.merdeka.com