THE JOKO WAY 27: GUNCANGAN BESAR
Oleh Ahmad Thoha Faiz
Ahli sejarah membagi babak kehidupan berbangsa menjadi 3 zaman: orde lama (pemimpin besar revolusi Bung Karno), orde baru (bapak pembangunan Soeharto) dan orde reformasi (BJ Habibie,Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi). Tidak salah.
Namun, ahli sejarah tidak cermat. Pembagian tiga babak di atas relevan pada kurikulum 2013 dan sebelumnya, ketika Jokowi belum membuat hati jutaan manusia Indonesia bergetar. Mereka mendadak jatuh hati kepada Jokowi. Tinggal sekarang Jokowi menagih bukti: apakah cinta mereka palsu atau sejati?
Jika kita melihat fenomena Jokowi sebagai pemimpin besar revolusi mental, seharusnya babak kehidupan bangsa Indonesia cukup disederhanakan menjadi dua babak: era pra Jokowi (era pertanian dan industri) dan era Jokowi (era informasi).
Mengapa?
Pertama, Indonesia baru mengalami dua kali revolusi: revolusi kemerdekaan oleh Bung Karno (lulusan "ITB") dan revolusi mental oleh Jokowi (lulusan UGM).
Kedua, revolusi selalu bercirikan kekacauan. Revolusi merupakan proses sosial yang paling mengguncang. Bukan hanya tatanan sosial melainkan juga pola pikir terdalam (paradigma).Atau dalam istilah Francis Fukuyama: great disruption (guncangan besar). Begitu juga revolusi mental. Tentu saja kondisi sekarang baru "mukadimah".
Kita bisa melihat bagaimana halusnya Jokowi mengarahkan revolusi mental. Duet maut Tedjo-Yasonna membuat kita semua terpesona. Golkar dan PPP, sebagai orsospol tertua, pun terpicu darah mudanya.
Belum cukup, Jokowi menunjuk tim 9, yang semua perempuan, sebagai tim seleksi "kejantanan" KPK. Ketuanya tentu saja staf menteri BUMN untuk memastikan independensi.
Duo Budi menunjukkan contoh kejantanan. Budi Gunawan telah memicu awal revolusi hukum, khususnya pengadilan. Hattrick kekalahan KPK itu belum seberapa. Meski tagline #savekpk ada di mana-mana, revolusi terus bergulir kencang.
KPK yang konon paling dicintai rakyat semakin loyo. Kabareskrim Budi Waseso begitu jantan tidak mau melaporkan hartanya ke KPK. Bagi aktivis antikorupsi itu memalukan dan menyedihkan, tetapi tidak begitu bagi orang yang memahami revolusi mental.Tentu saja Wapres JK memberi apresiasi.
Bidang ekonomi tampak sejalan dengan semangat revolusi mental. Semakin rupiah merosot, bangsa Indonesia semakin untung. Begitu kata Menkeu. PHK secara besar-besaran merupakan keuntungan besar, karena kesabaran itu pahalanya "bi ghoiri hisab" (tanpa batas).
Secara faktual, sarana penyatu bangsa yang paling ampuh adalah sepakbola. Semangat nasionalisme merah-putih membahana ketika Evan Dimas dkk menggocek bola. Melalui Imam Nahrowi, Jokowi memastikan timnas tidak terkalahkan di pentas internasional.
Ketiga, pola pikir, sikap, bicara dan tindak Jokowi tidak ada duanya. Bagi pembenci, Jokowi itu orang dungu yang suka cengengesan. Jelas itu penilaian ngawur: bagaimana bisa orang dungu menjadi presiden?
Jelas Jokowi supergenius. Lebih pas disandingkan dengan Albert Einstein yang telah merevolusi sains, bukan dengan BJ Habibie. Sama seperti Einstein, ide Jokowi tidak mudah dipahami. Malah ide Einstein bisa dipahami secara luas karena tertulis tegas di atas kertas. Ide Jokowi lebih abstrak dari matematika seperti dedemit, lebih dinamis dan tidak mudah tertebak seperti gerakan asap yang muncul dari ujung rokok.