dr. Erta Priadi Wirawijaya
October 17 at 9:42pm
Minggu lalu, saat saya baru saja mau pulang praktek. Tiba-tiba saya dipanggil perawat dari ruangan, pasien laki-laki 80 tahun pensiunan TNI dengan gagal jantung yang sebenarnya keluhannya sudah membaik dilaporkan mendadak apnea (henti nafas).
Segera saya datang ke ruang perawatan. Setelah diperiksa nadi sudah tidak teraba. Segera dilakukan resusitasi jantung paru. Setelah terpasang monitor ternyata EKG menunjukkan ventrikular fibrilasi, saya lakukan DC shock, irama kembali sinus. Namun hal ini tidak berlangsung lama, tidak lama irama berubah menjadi PEA atau pulseless electrical activity, dimana aktivitas listrik jantung ada tapi tidak sampai menghasilkan denyut nadi yang bermakna. RJP kembali dilakukan. Di monitor terlihat irama jantungnya kadang asistole/PEA, VT/VF kemudian di shock jadi sinus, tak lama berubah jadi AF, lantas asistole lagi. RJP terus dilakukan sesuai protocol ACLS, tiap kali irama berubah jadi VT/VF kejutan listrik / DC shock kembali diberikan. Kejutan listrik setidaknya sudah diberikan hingga 4 kali, obat-obat IV untuk membantu kerja jantung dan menekan gangguan irama yang timbul juga sudah diberikan. Walau tim kami sudah capai, RJP tetap dilanjutkan karena kami berharap bisa menolong sang bapak. Keluarga pasien yang tadinya sudah pulang akhirnya datang kembali. Saya dengan mereka mulai berdoa berharap keajaiban.
Akhirnya dengan kuasa Allah SWT setelah hampir sejam tim kami melakukan RJP, detak jantung pasien kembali normal. Nadinya kembali teraba. Saturasi oksigen darahnya perlahan naik, dari 80, 85, terus naik. Kesadarannya juga perlahan kembali membaik. Setelah keadaannya cukup stabil saya bilang ke keluarganya kalau bapak butuh perawatan di ruangan intensif. Kondisinya harus dimonitor ekstra ketat, dan untuk mengidentifikasi penyebab gangguan iramanya perlu sejumlah pemeriksaan yang harus dilakukan secepatnya, hal ini belum bisa dilakukan di RS kami yang baru berdiri.
Setelah diskusi panjang... Akhirnya keluarga setuju merujuk pasien ke RS yang lebih lengkap. Sayangnya satu persatu rumah sakit yang kami hubungi menyatakan ruang rawat intensifnya penuh. Ada beberapa RS Swasta dengan ruang rawat intensif, namun mereka bilang tidak bisa menerima pasien BPJS. Harus umum. Alasannya saya rasa tidak berbeda jauh dengan apa yang diutarakan dr. Bambang Budiono dalam statusnya pagi ini, biaya rawat di ruang intensif selalu besar dibandingkan tarif InaCBGs. Contohnya kasus beliau biaya rawatnya 180 juta, tapi cuma diganti BPJS 42 juta.
Alat kesehatan di Indonesia tidaklah murah, 90% masih di impor, kena bea masuk barang mewah 20-30%, dijual kena pajak penjualan 10%. Dolar naik dikit otomatis harga naik. Investasi besar tapi tarifnya minim. Akibatnya sekarang banyak RS enggan menyediakan ruang intensif. Akibatnya dimana-mana ruang intensif selalu penuh, demand selalu lebih besar dari supply. Modalnya terlalu besar dan pasti merugi (jika menangani pasien BPJS).
Ini juga saya rasa tantangan RS kami nanti... Bagaimana caranya bisa menyediakan layanan rawat ruang intensif dengan biaya yang jauh lebih murah sehingga tetap terjangkau untuk pasien-pasien kami. Apalagi kalau mereka berobat dengan menggunakan BPJS. Untuk mencoba mensiasatinya kami sudah coba cari donatur tapi tidak ada yang berminat bantu. Tidak bisa di Indonesia kami coba cari bantuan ke luar negeri, akhirnya ada yang mau bantu dengan hibah 1 konteiner alat kesehatan. Cukup untuk melengkapi ICU kami yang direncanakan ada 9 tempat tidur. Tapi ternyata persyaratan masuknya ke Indonesia sangat menyulitkan dan mustahil dipenuhi. Maklum di Indonesia kalau bisa dipersulit ngapain di permudah.
Menurut saya ini adalah masalah real di bidang kesehatan yang terus berulang. Keperdulian pemerintah terhadap kesehatan masih sangat minim. JKN dibuat dengan anggaran minim sehingga tarifnya terpaksa dibuat minim. Ujungnya dokterlah yang terpaksa mengakali sistem dan pasienlah yang ujungnya jadi korban. Kebijakan pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan yang baik dengan menekan pembiayaan kesehatan melalui sistem InaCBGs tidak singkron dengan kebijakan pemerintah lainnya yang mengenakan pajak besar untuk alkes dan obat. Akibatnya ya kacau. Fasilitas dan layanan kesehatan di Indonesia jadi sulit berkembang dan terus bermasalah.
Bagaimana nasib pasien saya ini? Alhamdullilah tetap stabil selama rawat di RS kami. Barbapaksetelah telpon sana telpon sini minta bantuan akhirnya besoknya bisa dirujuk ke sebuah RS umum pusat.
Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10206328659270008&set=a.1350047185890.2044288.1072660079&type=3&theater
0 Response to "Kesehatan itu Tidak Murah "
Post a Comment